Opini

MELAWAN ARUS MERAWAT MAKNA : Sebuah Refleksi Tentang Keluarga dan Zaman

Oleh: Mustofa B. Santoso

Indonesia sedang mengalami perubahan besar. Data Total Fertility Rate (TFR) menunjukkan penurunan yang signifikan: dari 5,61 pada 1971 menjadi sekitar 2,18 pada 2025. Ini bukan sekedar angka. Dibaliknya ada cerita tentang keberhasilan program keluarga berencana, urbanisasi, dan modernisasi Namun, ada juga gelombang perubahan nilai yang perlu kita renungkan-ditandai dengan semakin banyaknya pilihan hidup child-free dan tren menunda pernikahan dikalangan generasi muda.

Ditengah arus perubahan ini, kita perli kembali mengingat makna filosofis keluarga. Bagi masyarakat Indonesia, keluarga bukan sekedar lembaga biologis. Ia adalah wadah spiritual dan sosial tempat nilai-nilai kehidupan diwariskan. Dalam tradisi Nusantara, keluarga adalah tempat kita belajar tentang cinta, pengorbanan dan tanggungjawab lintas generasi. Anak toidak hanya hadir sebagai hasil pernikahan melainkan sebagai peneris nilai, penjaga tradisi dan penentu arah peradaban.

Namun, penting untuk memahami mengapa tren ini terjadi. Bagi banyak generasi muda, pilihan untuk menunda pernikahan atau tidak memiliki anak adalah keputusan rasional yang lahir dari beban ekonomi yang berat biaya hidup yang tinggi dan keinginan untuk memastikan kesiapan mental serta finansial sebelum membangun keluarga. Dalam sudut pandang ini, pilihan tersebut justru bisa dilihat sebagai bentuk tanggungjawab. Alih-alih serta merta menilai sebagai penolakan terhadap makna sosial-spiritual kita perli mendengarkan kegelisahan yang mendasarinya.

Namun, tidak dapat dipungkiri, budaya indovidualistik yang menempatkan kenyamanan pribadi sebagai tujuan utama turut berpengaruh. Dalam perspektif ini nilai-nilai gotong royong kepedulian antargenerasi, dan pengabdian dalam keluarga – yang menjadi fondasi peradaban kita-benar-benar terancam tergerus.

Jika kita melihat data TFR secara regional, ceritanya menjadi beragam. Wilayah metropolitan seperti DKI Jakarta dan DIY memiliki TFR sekitar 1,75 – Jauh dibawah angka replacement level (2,1). Sementara itu, daerah seperti NTT dan Papua masih mempertahankan TFR diatas 3.

Kabupaten Grobogan memiliki kisahnya sendiri. Dalam lima tahun terakhir, TFR Grobogan mengalami fluktuasi:

. 2019: 2,23

.2020: 2,09

.2021: 1,99

.2022: 1,98

.2023: 2,21

.2024: 2,04

Angka-angka ini bercerita tentang dinamika kehidupan yang nyata. Grobogan sempat turun dibawah batas regenrasi (2,1), tetapi kemudian kembali naik di tahun 2023. Fluktuasi ini mencerminkan betapa pengaruh kondisi sosial, ekonoi, dan kebijakan lokal terhadap pilihan keluarga. Tekanan ekonomi perubahan pola pikir generasi muda, dan adaptasi pascapandemi adalah sebagaian dari faktor yang bermain dibalik angka-angka tersebut.

Yang menarik masyarakat agraris Grobogan, Kabupaten penyangga pangan Jawa Tengah ini berhasil menjaga denyut kehidupan keluarga yang selaras dengan nilai-nilai komunal dan spiritual. Mereka masih memandang anak sebagai titipan dan amanah. Bagi mereka punya anak bukan hanya soal memenuhi hasrat biologis melainkan juga panggilan spiritual untuk melanjutkan estafet nilai dan kebijaksanaan leluhur. Namun, kisah Grobogan juga mengingatkan kita bahwa merawat nilai-nilai ini di zaman modern membutuhkan usaha dan kondisi sosio-ekonomi yang mendukung.

Spiritualitas Nusantara mengajak kepada kita untuk melampaui ego-untuk mencintai mengabdi, dan mengambil tanggungjawab merawat generasi berikutnya. Ajaran ini selaras dengan nilai-nilai Agama yang hidup di Indonesia: Islam, Kristen, Hindu dan Budha — yang semuanya menjunjung tinggi pernikahan dan kehadiran sebagai bagian dari ibadah dan berkah ilahi.

Oleh karena itu, ikhtiar kita bukanlah untuk menghakimi pilihan individu tetapi untk membangun kembali masyarakat yang memudahkan setiap orang untuk memilih membentuk keluarga. Menolak arus individualisme ekstrem bukan berarti menolak kemajuan, tetapi justru berusaha menjaga peradaban dari krisis identitas dan kehampaan makna. Keluarga adalah laboratorium kehidupan — tempat kita belajar sabar, berjuang, mecintai dan hidup untuk tujuan yang lebih besar. Kebahagiaan sejati dalam perspektif spiritual, datang ketika kita mampu berkontribusi pada kehidupan orang lain: anak pasangan dan masyarakat.

Dari kacamata filosofis keluarga adalah mikrosmos masyarakat. Jika keluarga melemah, solidaritas sosial juga akan goyah. Data TFR Grobogan mengingatkan kita bahwa kemajuan bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi atau tekhnologi, tetapi juga tentang menjaga harmoni antara nilai, spiritualitas dan realitas zaman.

Pernikahan, dalam narasi yang lebih dalam, adalah bahtera pengabdian. Didalamnya, kita menemukan makna keberlanjutan cinta tanpa syarat, dan jembatan antara masa lalu dan masa depan.

Maka, kritik terhadap individualisme yang ekstrem pada hakikatnya adalah ajakan untuk pulang —- kembali kepada keluarga, cinta, dan spiritualitas sebagai sumber makna hidup. Grobogan hadir sebagai pengingat: Indonesia perlu merawat narasi besar yang memadukan kemajuan dengan kelestarian nilai. Tugas kolektif kita adalah menciptakan dunia yang lebih ramah keluarga, dimana nilai-nilai luhur bukan menjadi beban, tetapi menjadi fondasi yang menyangga masa depan. Dengan begitu, kita tetap menjadi bangsa yang tidak hanya modern, tetapi juga bermartabat — kuat dalam tradisi, kokoh dalam keluarga, dan mulia di hadapan Tuhan dan sejarah.

*Dosen Kewarganegaraan di Institut Tekhnologi dan Bisnis Muhammadiyah Grobogan.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button