Ilusi Rumah Laba-laba

Oleh: Hadi Tanuji
Dosen Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Grobogan
Beberapa waktu lalu, tragedi kerusuhan dan penjarahan menimpa sejumlah artis dan pesohor tanah air. Rumah-rumah megah yang selama ini berdiri anggun dengan pagar tinggi dan kamera pengawas ternyata tak berdaya menghadapi amukan massa. Dalam sekejap, barang-barang mewah lenyap, kaca pecah, dan suasana rumah yang mestinya jadi tempat ternyaman berubah jadi lautan kekacauan. Momen ini menyadarkan kita: betapa rapuhnya apa yang sering kita banggakan.
Siapa yang tidak kenal Eko Patrio. Dari panggung komedi ia menapaki jalan hingga ke kursi legislatif. Ia memiliki rumah besar, jabatan penting, dan harta yang membuat banyak orang iri. Dari luar tampak kokoh, seolah hidupnya aman dari masalah. Tapi benarkah semua itu bisa menjamin ketenangan? Kenyataan menunjukkan bahwa harta dan jabatan bukan benteng yang sesungguhnya. Ia bisa runtuh kapan saja.
Begitu pula dengan Uya Kuya, dikenal flamboyan, penuh sensasi, dengan gaya hidup yang tak jauh dari kemewahan. Popularitas membuatnya selalu jadi sorotan, tapi bukankah popularitas itu laksana balon sabun? Indah dilihat, berkilau terkena cahaya, namun mudah pecah dengan sedikit sentuhan. Syahroni, dengan kekayaan dan jabatan politiknya, juga tidak lepas dari risiko. Jabatan bisa hilang dalam semalam hanya dengan satu keputusan. Bahkan Nafa Urbach, yang dulu begitu populer, kini merasakan sorotan panggung tak lagi seterang dahulu. Semua kisah ini sama-sama menunjukkan: apa yang terlihat kuat dari luar sesungguhnya rapuh di dalam.
Bukankah ini mirip dengan rumah laba-laba? Indah dilihat, tampak kuat, tetapi sebenarnya rapuh. Hanya butuh satu guncangan, dan semuanya bisa runtuh.
Rapuhnya “Rumah Laba-Laba”
Jika kita melihat jaring laba-laba, tampak indah, simetris, bahkan sering mengagumkan dari sisi seni alam. Namun di balik keindahannya, jaring laba-laba sangat rapuh. Sedikit sentuhan, embusan angin, atau percikan air hujan bisa merusaknya. Inilah yang Allah sebut sebagai rumah paling lemah.
Al-Qur’an sudah jauh-jauh hari mengingatkan. Dalam Surah Al-Ankabut ayat 41 Allah berfirman:
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba, jika mereka mengetahui.”
Perumpamaan ini sederhana tapi sangat dalam. Rumah laba-laba sekilas terlihat indah. Jaringnya berkilau bila terkena cahaya, tampak seperti permata tipis yang mempesona. Namun, siapa pun tahu betapa rapuhnya jaring itu. Satu tiupan angin kencang, satu sapuan tangan, cukup untuk menghancurkan seluruh rumah laba-laba yang dibangun dengan susah payah.
Demikianlah hidup manusia. Harta, jabatan, ketenaran, atau relasi yang kita miliki sering tampak kokoh dan bisa diandalkan. Namun, cukup satu musibah saja membuat semuanya sirna. Dengan penyakit, skandal, krisis ekonomi, atau bencana, semua bisa roboh tanpa sisa. Rumah besar bisa dijarah, tabungan miliaran bisa lenyap karena inflasi atau penipuan, jabatan bisa hilang karena pergantian rezim, popularitas bisa runtuh hanya karena satu isu yang viral di media sosial. Inilah hakikat dunia: tampak kuat, padahal rapuh.
Rumah laba-laba juga memberi pelajaran lain. Meski tampak indah, ia rapuh bahkan bagi penghuninya sendiri. Laba-laba betina kadang memakan pejantan setelah kawin, dan anak-anaknya bisa saling memangsa begitu menetas. Dengan kata lain, rumah itu bukan saja rapuh secara fisik, tetapi juga rapuh secara moral dan sosial. Begitu pula rumah kehidupan manusia yang dibangun tanpa nilai-nilai ilahi: penuh pertikaian, saling menjatuhkan, hingga pada akhirnya hancur dari dalam.
Mengandalkan Sandaran yang Salah
Laba-laba membuat jaring bukan hanya untuk tempat tinggal, tetapi juga sebagai alat mencari rezeki. Namun, jaring itu mudah rusak dan harus terus diperbaiki. Ini mengingatkan kita bahwa ketika manusia menggantungkan harapan sepenuhnya pada sesama manusia, popularitas, atau benda dunia, ia seperti laba-laba yang terus bekerja keras membangun sesuatu yang tak pernah kokoh.
Bila direnungkan, banyak kisah nyata di sekitar kita yang sesuai dengan perumpamaan ini. Ada pengusaha yang mendadak bangkrut padahal sebelumnya bergelimang harta. Ada pejabat yang ditangkap karena kasus korupsi padahal dulu dielu-elukan. Ada selebritas yang dulu disanjung, lalu tenggelam karena satu kesalahan. Semua itu menunjukkan satu pola: kehidupan dunia hanya sarang laba-laba.
Namun, Al-Qur’an tidak hanya mengingatkan tentang rapuhnya sandaran dunia. Ia juga memberi arahan: sandaran sejati hanyalah Allah. Dialah pondasi kokoh yang tidak akan pernah runtuh. Dialah satu-satunya yang kekal, yang tidak pernah meninggalkan hamba-Nya. Bila seseorang menaruh harapannya pada Allah, membangun hidup di atas iman, amal, dan tawakal, maka ia seperti membangun rumah di atas batu karang. Badai boleh datang, ombak boleh menghantam, tapi rumah itu tetap berdiri.
Allah SWT sebagai Pusat Sandaran
Mari kita tarik dalam kehidupan sehari-hari. Seorang ayah bisa merasa gagah karena punya pekerjaan mapan. Namun bila ia hanya bersandar pada gaji bulanan, hidupnya akan goyah saat kehilangan pekerjaan. Seorang ibu bisa merasa aman karena memiliki tabungan besar. Tapi bila tabungan itu jadi satu-satunya pegangan, ia akan hancur saat uangnya habis. Anak muda bisa merasa percaya diri karena punya banyak followers di media sosial. Tapi begitu akun diretas atau perhatian publik beralih, rasa percaya dirinya runtuh. Semua contoh ini membuktikan: dunia hanyalah jaring tipis, bukan pondasi.
Lalu, bagaimana membangun rumah yang kokoh? Bukan dengan menolak harta, jabatan, atau popularitas, sebab semua itu bisa menjadi anugerah bila digunakan dengan benar. Kuncinya adalah menjadikan Allah sebagai pusat sandaran. Harta bukan tujuan, melainkan sarana. Jabatan bukan kemuliaan, melainkan amanah. Popularitas bukan kebanggaan, melainkan ujian. Dengan perspektif ini, kita tidak akan terjebak dalam ilusi rumah laba-laba.
Pada akhirnya, renungan dari ayat ini sangat relevan dengan zaman kita. Dunia modern menawarkan banyak “rumah laba-laba”: investasi instan, popularitas semu, jabatan sementara. Semua tampak kokoh, tapi sesungguhnya rapuh. Sementara Allah menawarkan rumah kokoh: rumah iman, rumah amal, rumah doa, rumah kesabaran. Rumah yang bila dibangun dengan sungguh-sungguh, akan tetap berdiri bahkan hingga hari terakhir.
Jadi…
Hidup sering kali menipu pandangan kita. Apa yang tampak besar dan kokoh belum tentu bisa jadi tempat berlindung. Apa yang tampak indah berkilau belum tentu aman dari keruntuhan. Begitulah dunia. Ia menawarkan banyak jaring laba-laba. Harta, jabatan, popularitas, relasi yang tampak menjanjikan, sesungguhnya sangatlah rapuh.
Ayat Al-Qur’an tentang rumah laba-laba bukan sekadar perumpamaan, melainkan peringatan. Allah mengingatkan bahwa hanya Dia sandaran sejati. Dialah yang tak pernah rapuh, tak pernah roboh, tak pernah mengecewakan. Segala sesuatu selain-Nya hanyalah sarang tipis yang bisa hilang kapan saja.
Maka, marilah kita belajar dari tragedi, dari kisah para pesohor, dari pengalaman sekitar kita. Jangan sampai kita puas berlindung di bawah jaring tipis yang mudah robek. Lebih baik kita bersusah payah membangun rumah kokoh bersama Allah. Sebab hanya di sanalah kita akan benar-benar aman.