Dalam lembaran sejarah Nusantara, seringkali tokoh-tokoh pria mendominasi catatan perang dan tahta. Namun, di balik layar peralihan zaman yang dahsyat, dari era keemasan Majapahit yang Hindu-Buddha menuju bangkitnya Kesultanan Islam di Jawa, terdapat seorang perempuan dengan darah Tionghoa-Muslim yang memainkan peran sentral. Dialah Siu Ban Ci—seorang selir yang nasibnya terlihat biasa, namun justru menjadi poros perubahan besar.
Perjalanan hidupnya dimulai dari garis keturunan yang mulia. Ia adalah cucu Syekh Quro, ulama besar dari Champa yang pertama kali membangun pondok pesantren (Quro) di Karawang. Ayahnya, Syekh Bentong, adalah seorang keturunan Nabi Muhammad SAW yang datang ke Nusantara sebagai bagian dari armada megah Laksamana Cheng Ho. Darah dakwah dan diplomasi mengalir dalam nadinya.
Keluarga itu kemudian pindah ke Gresik, pusat dakwah yang sedang bersemi. Saat Syekh Bentong menghadap Prabu Brawijaya V di Istana Majapahit untuk urusan dagang, ia membawa serta putrinya yang cantik jelita. Dan di situlah, takdir berbelok. Di antara hamparan sutra, giok, dan keramik mewah dari Tiongkok, sang Raja justru terpana oleh kecantikan Siu Ban Ci. Malam itu juga, permintaan pun diajukan: Siu Ban Ci harus menjadi garwa ampeyan (selir)-nya.
Dibawa dengan tandu terbaik menuju istana, Siu Ban Ci pun memasuki dunia baru yang penuh intrik. Ia dikenal sebagai “Putri Cina”, sebuah nama yang menggambarkan keunikan dan keasingannya di lingkungan keraton. Kehadirannya bagai batu yang dilempar ke kolam yang tenang, memicu riak kecemburuan yang hebat, terutama dari sang permaisuri, Dewi Amarawati dari Champa, yang belum dikaruniai anak.
Konflik memuncak ketika kabar kehamilan Siu Ban Ci tersiar. Dewi Amarawati murka dan memberikan ultimatum: Siu Ban Ci harus pergi, atau ia akan kembali ke Champa dan merusak hubungan diplomatik kedua kerajaan. Terjepit antara cinta dan takhta, dengan berat hati Prabu Brawijaya V merelakan Siu Ban Ci yang mengandung tiga bulan untuk diasingkan ke Palembang, dititipkan kepada Adipati Arya Damar.
Inilah titik paling pilu dalam hidupnya. Diusir dari istana dalam keadaan hamil, menuju tanah asing yang belum dikenal. Namun, dalam kepahitan itulah terletak benih sebuah kebangkitan yang tidak disadari siapa pun. Syarat raja tegas: Arya Damar tidak boleh menyentuhnya hingga anaknya lahir. Syarat ini bukan hanya menjaga martabat, tetapi juga menjadi perlindungan bagi janin calon pemimpin besar itu.
Di tanah pengasingannya, dengan kesabaran dan ketabahan seorang ibu, Siu Ban Ci melahirkan dan membesarkan putranya. Anak itu diberi nama Jin Bun oleh kakeknya, yang dalam perjalanan sejarah akan lebih dikenang dengan nama Arabnya: Raden Patah (Al-Fatah, sang Pembuka). Dari rahimnyalah mengalir darah Majapahit dan darah para syekh dakwah. Di Palembang, ia pun melahirkan anak kedua dari Arya Damar, bernama Raden Kusen (Arya Pecattanda). Kedua putranya ini kemudian dibawanya ke Surabaya untuk berguru kepada Sunan Ampel, menyempurnakan bekal ilmu agama dan kepemimpinan.
Dan seperti buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya, Raden Patah tumbuh menjadi pemimpin yang ditakdirkan mengubah peta kekuasaan Jawa. Didukung oleh para Wali Songo, ia mendirikan Kesultanan Demak pada 1478 M—kerajaan Islam pertama di Jawa yang menjadi palu godam terakhir bagi keruntuhan Majapahit. Siu Ban Ci, yang dulu diusir dari istana, secara tidak langsung telah melahirkan sang penakluk dan penerusnya.
Kisah Siu Ban Ci bukan sekadar dongeng tentang selir yang malang. Ia adalah sebuah alegori yang dalam tentang kesabaran, ketabahan, dan keyakinan pada rencana Ilahi yang lebih besar. Pengusirannya yang terlihat seperti tragedi justru menjadi strategi terselubung untuk menyelamatkan calon pemimpin besar dari borok intrik keraton. Ia adalah katalisator yang tenang; pengaruhnya tidak dihasilkan dari pedang atau pidato, tetapi dari rahimnya yang melahirkan sultan dan dari kesabarannya yang membesarkan mereka menjadi agen perubahan.
Dari hidupnya, kita belajar bahwa peran yang terlihat marginal dan biasa-biasa saja pun bisa menjadi instrumen Tuhan untuk menggerakkan sejarah. Setiap ketabahan dalam menghadapi cobaan, seperti kesabaran Siu Ban Ci di pengasingan, bukanlah akhir, tetapi justru batu pijakan untuk melompat lebih tinggi. Ia mengajarkan pada kita, para pembaca modern, untuk maksimal dalam peran apa pun yang kita jalani, karena kita tak pernah tahu bagaimana dampak kecil kita akan beresonansi dan mengubah masa depan.
Siu Ban Ci adalah bukti abadi bahwa sejarah tidak hanya ditulis di medan perang, tetapi juga dibentuk di dalam diamnya sebuah kamar, di doa-doa seorang ibu, dan di ketabahan seorang perempuan yang percaya bahwa garis takdirnya ditorehkan oleh Yang Maha Kuasa. Warisannya masih hidup dalam napas Islam Nusantara yang moderat dan budaya Indonesia yang kaya, menjadikannya salah satu perempuan yang paling berpengaruh dalam sejarah Islam di Nusantara.
Oleh: Mustofa B. Santoso*
* Dosen Kepemimpinan di Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Grobogan