ADAB SEBELUM ILMU

Oleh: Hadi Tanuji (Dosen ITB-MG)
Belajar Adab Menurut Ulama
Para ulama terdahulu memberikan perhatian yang sangat besar terhadap adab sebelum mempelajari ilmu. Mereka memahami bahwa ilmu hanya akan membawa manfaat apabila disertai dengan kehalusan budi pekerti dan kebeningan hati. Oleh sebab itu, banyak ulama besar yang menghabiskan waktu panjang untuk menuntut adab sebelum menekuni bidang keilmuannya.
Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas rahimahullah, pernah menasihati seorang pemuda Quraisy dengan kalimat:
“Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.”
Nasihat ini menunjukkan bahwa adab merupakan pondasi bagi setiap penuntut ilmu. Tanpa adab, ilmu bisa menjadi sumber kebanggaan dan kesombongan, bukan petunjuk menuju kebenaran. Imam Malik sendiri menghabiskan 16 tahun untuk mempelajari adab, dan 4 tahun untuk mempelajari ilmu, sebagai bukti bahwa pembentukan akhlak lebih didahulukan daripada penguasaan materi.
Begitu pula Ibnu Mubarak, seorang ulama besar lainnya, menyatakan:
“Kami mempelajari masalah adab itu selama tiga puluh tahun, sedangkan ilmu selama dua puluh tahun.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa kesungguhan dalam mempelajari adab tidaklah kalah penting dibandingkan kesungguhan dalam mempelajari ilmu.
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata:
“Ketika seseorang mulai menulis hadits, hendaklah ia terlebih dahulu belajar adab dan ibadah selama dua puluh tahun sebelum menulis hadits.”
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa adab dan ibadah merupakan prasyarat moral dan spiritual bagi setiap penuntut ilmu. Sementara itu, Abu Hanifah mengatakan, “Kisah-kisah
para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqh. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlak luhur mereka”.
Mengapa Para Ulama Mendahulukan Adab?
Para ulama mendahulukan adab karena mereka memahami bahwa adab adalah kunci untuk memahami ilmu dan menjadikannya bermanfaat. Orang yang beradab akan memiliki hati yang tenang, pikiran yang jernih, serta hubungan yang baik dengan guru dan sesama penuntut ilmu.
Yusuf bin al-Husain berkata:
“Dengan mempelajari adab, seseorang akan mudah memahami ilmu.”
Hal ini menunjukkan bahwa adab adalah pintu masuk bagi keberkahan ilmu. Tanpa adab, ilmu sulit dicerna dan mudah disalahgunakan.
Ibnu Mubarak menyatakan:
“Siapa saja yang meremehkan adab, maka akan disiksa dengan kekurangan akan amalan sunah. Siapa saja yang meremehkan amalan sunah, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan amalan fardhu. Siapa saja yang meremehkan amalan fardhu maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan makrifat.”
Artinya, seseorang yang mengabaikan adab akan kehilangan kemampuan untuk memahami kebenaran secara utuh. Bahkan, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menegaskan:
“Adab seseorang itu merupakan alamat kebahagiaan dan keberuntungannya. Sedangkan minimnya adab merupakan alamat kenestapaan dan kerugiannya. Tidak ada kebaikan di dunia dan akhirat yang diharapkan untuk diperoleh seperti memperoleh adab. Begitu juga, tak ada yang sudi mendapatkan keburukan di dunia dan akhirat sebagaimana minimnya adab.”
Pernyataan Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah merupakan ungkapan yang sarat makna mendalam tentang posisi adab dalam kehidupan manusia. Paling tidak terdapat 4 pelajaran yang bisa kita petik.
- Adab sebagai Cermin Kebahagiaan dan Keberuntungan
Adab yang baik adalah cerminan dari hati yang bersih dan jiwa yang tenang. Seseorang yang beradab akan memandang hidup dengan keseimbangan antara akal dan rasa, antara ilmu dan iman. Ia tidak hanya cerdas dalam berpikir, tetapi juga bijak dalam bersikap.
Inilah sebabnya Ibnul Qayyim menyebut adab sebagai alamat kebahagiaan dan keberuntungan, sebab adab menunjukkan arah hati manusia.
Orang yang beradab akan menghormati sesama, menjaga ucapan, bersikap sopan, dan tidak menyakiti orang lain. Dari sikap seperti itu lahirlah ketenteraman batin, hubungan sosial yang baik, serta keberkahan dalam hidupnya. Semua ini adalah bentuk kebahagiaan dunia yang nyata, dan sekaligus menjadi sebab kebahagiaan di akhirat, karena adab sejatinya adalah buah dari iman dan ketaatan kepada Allah SWT.
- Minim Adab sebagai Sumber Kenestapaan dan Kerugian
Sebaliknya, kurangnya adab menandakan adanya kekacauan dalam hati. Orang yang tidak beradab biasanya sulit menahan emosi, mudah menyinggung, sombong dengan ilmunya, atau meremehkan orang lain. Dalam keadaan seperti ini, ilmunya tidak membawa manfaat, amalnya kehilangan keberkahan, dan hubungannya dengan manusia maupun dengan Allah menjadi rusak.
Inilah yang dimaksud Ibnul Qayyim dengan “alamat kenestapaan dan kerugian.” Seseorang bisa saja memiliki ilmu tinggi dan kekayaan melimpah, namun jika tidak memiliki adab, semua itu hanya menjadi sumber ujian dan kehinaan. Ia mungkin dihormati secara lahir, tetapi tidak dicintai; sukses secara duniawi, tetapi gagal secara spiritual.
Minim adab membuat seseorang kehilangan arah dalam menghadapi hidup, tidak tahu kapan harus berkata, kapan harus diam; tidak tahu mana yang benar dan mana yang pantas. Akhirnya, bukan kebahagiaan yang didapat, melainkan kegelisahan yang tiada akhir.
- Adab Lebih Utama daripada Sekadar Kebaikan Duniawi
Ibnul Qayyim juga menegaskan bahwa tidak ada kebaikan di dunia dan akhirat yang lebih besar daripada memperoleh adab. Ini karena adab bukan sekadar perilaku lahiriah, melainkan refleksi dari cahaya iman di dalam hati.
Dengan adab, seseorang tahu cara berhubungan dengan Allah (adab dalam ibadah), cara berhubungan dengan manusia (adab sosial), dan cara berhubungan dengan dirinya sendiri (adab batin).
Adab menjadi fondasi yang menuntun seluruh amal agar bernilai ibadah. Ilmu tanpa adab bisa menjerumuskan pada kesombongan, kekayaan tanpa adab bisa menimbulkan kezaliman, dan kekuasaan tanpa adab bisa melahirkan keangkuhan. Oleh karena itu, adab adalah pangkal dari segala kebaikan dan keseimbangan hidup.
- Minim Adab Lebih Berbahaya daripada Minim Ilmu
Minimnya ilmu dapat diperbaiki dengan belajar, tetapi minimnya adab hanya dapat diperbaiki dengan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).
Orang yang tidak berilmu mungkin belum tahu, namun orang yang tidak beradab berarti telah tahu tetapi mengabaikan nilai-nilai kebenaran.
Oleh karena itu, Ibnul Qayyim menilai bahwa kekurangan adab lebih berbahaya daripada kekurangan ilmu, sebab ia menyentuh inti moral dan spiritual manusia.
Maka, adab tidak hanya berfungsi sebagai etika lahiriah, tetapi juga menjadi cerminan kedalaman jiwa dan kematangan spiritual. Seseorang yang berilmu tanpa adab ibarat memiliki cahaya yang menyilaukan, bukan menerangi. Sebaliknya, orang beradab meski sedikit ilmunya, akan senantiasa membawa manfaat bagi orang lain.
Hakikat Adab
Kata adab secara bahasa berarti kehalusan budi, kesopanan, dan tata krama yang baik. Namun dalam pengertian para ulama, adab memiliki makna yang lebih luas, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dengan cara yang benar dan sesuai tuntunan syariat.
Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menyatakan:
“Belajar adab berarti mengambil akhlaq yang mulia.”
Sedangkan Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan:
“Ilmu adab adalah ilmu untuk memperbaiki lisan (tutur kata), seruan, ketepatan dalam menempatkan pada posisinya, pemilihan kata yang baik dan tepat, serta menjaganya dari kesalahan dan cacat.”
Oleh karena itu adab mencakup tiga dimensi utama:
- Adab terhadap Allah, berupa ketaatan, keikhlasan, dan kesopanan dalam beribadah.
- Adab terhadap guru dan ilmu, berupa penghormatan, kesungguhan belajar, dan kerendahan hati.
- Adab terhadap sesama manusia, berupa sikap santun, empati, dan menjaga kehormatan orang lain.
Dengan demikian, adab bukan hanya aturan sosial, melainkan manifestasi dari iman dan kemuliaan akhlak. Ia adalah hasil dari latihan batin dan kesadaran spiritual yang terus dipupuk.
Pentingnya Adab dalam Kehidupan Penuntut Ilmu
Setiap diri kita (hendaknya) adalah penuntut ilmu. Setiap penuntut ilmu hendaknya menanamkan dalam dirinya bahwa keberhasilan belajar bukan hanya diukur dari penguasaan teori, tetapi juga dari kematangan akhlak. Orang yang beradab akan menjaga ucapannya di hadapan gurunya, menghormati pendapat yang berbeda, dan tidak merasa lebih tinggi karena ilmunya.
Adab juga melatih seseorang untuk bersabar dalam proses menuntut ilmu, tidak tergesa-gesa, dan tidak sombong dengan apa yang telah ia capai. Dalam tradisi keilmuan Islam, keberkahan ilmu sering kali bergantung pada adab murid terhadap gurunya. Seorang murid yang beradab akan mendapatkan keberkahan dari ilmunya, meskipun mungkin belum menjadi yang paling pintar di antara teman-temannya.
Khatimah
Adab adalah mahkota bagi setiap penuntut ilmu. Tanpa adab, ilmu kehilangan arah dan manfaatnya. Karena itu, setiap pelajar, mahasiswa, dan peneliti hendaknya menjadikan adab sebagai pondasi utama sebelum dan selama menuntut ilmu.
Meneladani para ulama terdahulu, marilah kita mendahulukan pembinaan akhlak sebelum memperdalam pengetahuan. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh para salaf, adab adalah buah dari iman dan akar dari segala ilmu yang bermanfaat.




