Dari Lidah ke Hati: Menu Bergizi Gratis sebagai Sarana Pendidikan Karakter Kebangsaan

Di sebuah siang yang tenang di pedesaan sang surya memancarkan teriknya. Seorang petani duduk bersandar di tepi ladang menikmati istirahat sejenak dari lelahnya membajak tanah. Dihadapannya terhidang sepiring makan siang yang sederhana: nasi jagung dicampur gaplek, sayur kelor, dan sambal terasi yang menggugah selera. Lalu, beberapa orang melintas didepannya. Dengan senyum tulus dan hati yang lapang, petani itu mengajak mereka untuk ikut menikmati hidangannya. Meski porsinya mungkin tak berlebih, dia menyantapknya dengan penuh rasa nikmat, seolah itu adalah hidangan terlezat di dunia.
Seorang santri yang menyaksikan pemandangan itu pun bertanya dalam hati: Bagaimana mungkin seseorang bisa begitu menikmati makanan yang begitu bersahaja?
Gurunya, mendengar gumaman sang santri, menjawab dengan bijak, “Nak enak itu hanyalah sentuhan sementara di lidah. Sementara nikmat adalah denyut syukur yang mendalam di hati__rasa terimakasih yang tulus kepada sang pemberi Rezeki atas apa yang telah dihidangkan.”
Kisah kecil dari D. Zawawi Imron, sang penyair Madura yang dijuluki “Si Celurit Emas”, ini bukan sekedar cerita. Ia adalah cermin yang memantulkan hakikat hidup yang sesungguhnya. Bukan tentang apa yang kita makan, tetapi tentang makna dibalik setiap suapan. Dalam konteks Indonesia yang majemuk kisah ini menyentuh relung yang dalam tentang bagaimana nilai-nilai kebangsaan kita hidup melalui rasa syukur dan solidaritas.
Kini dotengah gemuruh kritik dan keluhan tentang Program Makan Bergizi Gratis (MBG) Presiden Prabowo yang dianggap “tidak enak” atau “tidak disukai anak” kisah petani Madura itu bagai oase di padang gurun. Kita seringkali terjebak pada definisi “enak” yang sempit, hanya ditakar oleh selera lidah belaka, tanpa menyelami “nikmat” yang bersumber dari rasa syukur dan kesadaran bahwa kita sedang berbagi rezeki dalam kebersamaan. Zawawi Imron, yang hidup ditanah Madura yang tandus dan keras, mengajarkan bahwa kebersyukuran justru mekar dalam kesederhanaan. Dan nilai gotong royong__jantung dari Pancasila__tercermin sempurna dalam sikap spontan petani yang mengajak orang lain untuk makan bersama.
Program MBG, yang telah menjangkau lebih dari 15 juta anak, adalah bukti nyata kepedulian Negara. Ini bukan sekadar program gizi, melainkan wujud tanggungjawab sosial untuk menjamin hak konstitusional setiap anak atas kesehatan dan gizi. Setiap nasi, sayur, dan lauk yang dihidangkan adalah lebih dari sekedar kalori; ia adalah manifestasi dari keadilan sosial. Sebagaimana sila kelima Pancasila, program ini hadir untuk memastikan bahwa akses terhadap kebutuhan dasar terpenuhi, tanpa memandang dari keluarga mana seorang anak berasal.
Namun, keindahan program ini tidak akan berarti tanpa partisipasi kita semua. Disinilah gotong royong itu hidup. Sinergi antar kementerian dan peran aktif masyarakat__dari pemerintah, sekolah, hingga orang tua__adalah kunci agar program ini tidak hanya berjalan, tetapi juga berkelanjutan. Dengan memberdayakan UMKM lokal sebagai penyedia, program ini sekaligus menggerakan ekonomi kerakyatan dan memperkuat nilai kebersamaan dalam dimensi yang lebih luas.
Lebih dari itu, Program MBG adalah ruang kelas yang luas untuk pendidikan karakter. Disini anak-anak tidak hanya belajar tentang gizi, tetapi juga tentang empati solidaritas, dan rasa syukur. Saat seorang anak berkata, “Makanannya tidak enak,” itulah momen emas bagi orangtua dan guru untuk mengajarkan pelajaran hidup yang paling berharga. Mengajak mereka melihat bahwa dibalik setiap hidangan ada niat baik negera, ada keringat para petani, dan ada anugerah Tuhan yang patut disyukuri. Mengingatkan mereka bahwa dibelahan dunia lain, seperti Palestina, banyak anak yang hanya bisa memimpikan sesuap nasi.
Program ini juga adalah benang yang menjahit persatuan. Seperti Bhinneka Tunggal Ika, program ini menyajikan makanan yang sama untuk semua anak, menciptakan lingkungan yang inklusif dan setara. Ia mencegah adanya kesenjangan yang mencolok dikantin sekolah sehingga yang kaya dan yang kurang mampu duduk bersama, menikmati hidangan yang sama, belajar bahwa dimata negara dan sesama, mereka setara.
Ini adalah perwujudan nyata dari kemanusaan yang adil dan beradab. Program MBG adalah bentuk kepedulian kita terhadap sesama, solidaritas sosial yang meringankan beban keluarga dan mengajarkan anak-anak untuk peduli.
Seperti petani miskin yang menikmati nasi jagungnya dengan hati yang kaya, kita pun diajak untuk kembali pada kesederhanaan dan rasa terimakasih yang tulus. Program MBG adalah investasi jangka panjang. Bukan hanya untuk tubuh yang sehat, tetapi untuk jiwa yang memahami arti gotong royong, keadilan, persatuan dan ketuhanan.
Pada akhitnya, Program MBG adalah cermin dari kearifan D. Zawawi Imron: bahwa ditanah yang tandus, justru disitulah kebijaksanaan tumbuh subur. Di hati yang bersyukur dan berkarakter, hidangan sederhana pun terasa begitu nikmat. Program ini adalah tentang membangun generasi yang tidak hanya kiat fisiknya, tetapi juga kaya jiwanya__generasi yang memahami bahwa fondasi terkuat sebuah bangsa adalah rasa syukur, solidaritas dan kebersamaan.
Penulis: Mustofa B. Santoso, S.IP, M.Si
Dosen mata kuliah kewarganegaraan di ITB Muhammadiyah Grobogan.